Translate

Selasa, 16 Oktober 2012

MENGENDALIKAN AMARAH (eSyiar ed. I/41/1433)


“Dan bersegeralah menuju ampunan Allah yang memiliki surga seluas langit dan bumi yang dijanjikan untuk orang-orang bertaqwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan orang-orang yang suka menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, Allah menunjuki orang-orang yang suka berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran: 133-134)
Salah satu ciri-ciri orang yang bertaqwa seperti yang digambarkan dalam ayat Alquran yang mulia itu adalah orang yang suka menahan amarahnya. Dan balasannya tidak tanggung-tanggung: SURGA SELUAS LANGIT DAN BUMI!!
Marah dapat merusak iman sebagaimana jadam merusak manisnya madu. Sekuat apapun iman seseorang, namun apabila dia cepat marah, dapat dipastikan imannya akan rusak. Your biggest enemy is yourself, right? Tidaklah dikatakan kuat seseorang yang cepat marah lalu bertindak anarkis sebagai buntut dari amarahnya yang meledak-ledak itu. Tetapi, orang kuat adalah orang yang mampu menguasai diri dan hawa nafsunya ketika ia marah.
Sahabat Syiar, pernah ada seseorang yang meminta nasihat Rasulullah (seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah), lalu Rasulullah bersabda: “janganlah engkau marah”, dan beliau mengulanginya sekali lagi.
Namun, hal ini bukan berarti kita tidak boleh marah sama sekali. Amarah adalah salah satu anugerah Allah swt. yang dikaruniakan kepada kita. Tugas kita hanyalah menempatkan amarah itu pada tempat yang sesuai. Lebih baik lagi jika marah kita memberikan manfaat bagi orang lain tanpa harus menzaliminya. Rasulullah saw. memang dikenal sebagai orang yang lemah lembut, namun wajah beliau yang mulia itu bisa saja mendadak merah padam karena meredam amarahnya. Beliau akan marah ketika keharuman Allah swt. dilanggar. Dari ‘Aisyah ra. beliau menceritakan: “…dan Rasulullah saw. tidak pernah marah sekalipun kecuali ketika keharuman Allah dilanggar, beliau marah karena Allah.”[Hadits Riwayat Bukhari 6/419-420 dan Muslim 2327]
Rasulullah pernah marah, dan marahnya beliau ini selalu pada saat yang tepat dengan alasan yang tepat serta hasilnya bermanfaat. Seperti pada saat pembagian harta setelah perang Hunain berakhir. Kaum Anshar menyebut Rasul tidak adil. Rasul marah dan berkata: "Jika Allah dan RasulNya tidak adil maka siapa lagi yang adil?”. Marahnya Rasul singkat, bermakna mendalam, tidak menyakiti bahkan menyadarkan orang yang dimarahinya. Jadi, hal terpenting ketika kita –-memang—harus marah adalah bagaimana marahnya kita mampu membuat orang menjadi lebih baik tanpa harus menzaliminya. Sangat tidak disarankan untuk banting-banting kursi, unjuk kekuatan, dan lain sebagainya. Itu hanya akan membuang energi kita secara percuma, tidak membuat amarah meredam, tapi malah semakin berapi-api.
Sahabat Syiar yang dirahmati Allah, cara terbaik untuk menyikapi amarah adalah dengan meredam amarah sebisa mungkin. Bukankah Allah telah memuji dan menjanjikan balasan yang luar biasa bagi orang-orang yang suka menahan amarahnya? Bukankah RasulNya adalah sosok yang hampir tidak pernah marah, sementara sosok itu kita akui sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi kita? Bukankah penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa marah (umpatan, caci-maki, dsb.) dapat membuat susunan H2O (air) berantakan; sementara 70% dari penyusun tubuh kita adalah air?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang dapat menahan angkara murkanya padahal dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan khalayak guna disuruh memilih bidadari mana yang dia kehendaki untuk Allah nikahkan dia dengannya." [Shahih Al-Jami 6394 dan 6398]

Masih ragu-ragu untuk menahan amarah? 
Karena marah itu berasal dari hasutan syaitan yang terus membisikkan kejahatan kepada kita, maka kita haruslah melawannya dengan memohon pertolongan kepada Allah. Selain itu, karena syaitan diciptakan oleh Allah swt. dari nyala api, maka harus dilawan dengan air. Jadi, menahan amarah dapat dilakukan dengan cara beristighfar (memohon ampun kepada Allah swt.), membaca ta’awudz (a’udzubillahi minasy syaithanir rajiim), berwudhu’ dan pindah dari tempat tersebut. Jangan biarkan kita berada di tempat yang bisa memancing kemarahan tersebut, dan sebaiknya jika kita sudah terlanjur marah, ada baiknya kita bertaubat kepada Allah swt.
Wallahu a’lam.

Source:
KH Abdullah Gymnastiar: Manajemen Qalbu.
Almanhaj.or.id: Berjalan di Atas Manhaj As Salafush Shalih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FORUM STUDI ISLAM (FOSI) 2020

  UKM LDF Al m udarris memiliki enam bidang yang masing-masing bidangnya menjalankan program kerja yang bermacam ragam , termas...