Translate

Selasa, 06 November 2012

SPIRIT QURBAN PASCA IDUL ADHA (eSyiar ed. III/43/1433)



Idul Adha adalah salah satu momentum besar bagi umat Islam selain hari raya Idul Fitri. Jika Idul Fitri identik dengan zakat, maka Idul Adha lebih dikenal dengan prosesi udhiyah atau pemotongan hewan qurban. Sayangnya, kita tidak mengambil ibrah yang tersirat dari pelaksanaan ibadah qurban.

Esensi Qurban
Secara vertikal, berqurban memang telah diperintahkan oleh Allah swt. melalui kitab suci-Nya, Alquran. Dalam surat Al-Kautsar, ayat 1-2, Allah menegaskan, “Sesungguhnya Kami telah memberimu Al-Kautsar (nikmat yang sangat banyak). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”. Jelas bahwa berqurban merupakan salah satu bentuk syukur atas nikmat (Al-Kautsar) yang diberikan oleh Allah swt.. Selain itu, di dalam ayat ini juga tersirat makna bahwa berqurban harus diniatkan karena Tuhan, bukan karena riya’ atau pamer kekayaan semata. Qurban juga merupakan sedekah yang bertujuan untuk menyucikan diri dan harta (lihat surat At-Taubah : 103)
Sedangkan secara vertikal, qurban merupakan sarana untuk menumbuhkan kepekaan sosial terhadap sesama, khususnya kaum dhu’afa. Dalam bahasa Arab, kata qurban berasal dari qarraba-yuqarribu-qurbanan yang berarti kedekatan, kecintaan, dan kemesraan. Meskipun sebagian besar ahli tafsir cenderung menerjemahkannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun penulis melihat adanya makna lain yang tersirat dari kata ini. Secara vertikal, memang qurban merupakan sarana untuk mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Secara horizontal, qurban memiliki arti sebagai sarana untuk mendekatkan golongan “mampu” yang berqurban dengan golongan “kurang mampu” yang menerima qurban. Dengan kata lain, qurban adalah ungkapan cinta, kasih sayang, dan simpati kaum yang berpunya kepada kaum papa.

Hakikat Qurban
Ada dua makna yang dapat kita tangkap dari pelaksanaan ibadah qurban. Pertama, qurban bertujuan untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa penyembelihan hewan qurban merupakan simbol dari penyembelihan sifat kebinatangan yang ada pada diri manusia. Sifat kebinatangan yang dimaksud adalah hawa nafsu: tamak, kikir (bakhil), dan egoisme (ananiah). Dengan demikian diharapkan sesudah berqurban, manusia tidak lagi serakah, terlalu mengejar-ngejar hal-hal duniawi, tetapi harus lebih qanaah, merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Pun, dengan berqurban, kepedulian terhadap lingkungan seharusnya lebih peka dengan mengesampingkan egoisme.
Kedua, qurban adalah salah satu bentuk menyenangkan hati orang lain dengan hati  yang ikhlas. Jadi, hakikat qurban tidak terletak pada kuantitas daging yang diterima oleh kaum dhu’afa, tetapi lebih pada kualitas keikhlasan yang berqurban. Karena hanya kualitas keikhlasan yang tinggilah yang dapat membuat manusia memperoleh derajat muttaqin. Seperti yang diterangkan Allah swt. dalam surat Al-Hajj ayat 37,Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”

Aplikasi dalam Kehidupan
Sayangnya, sebagian besar dari kita, kaum Muslimin, tidak mengambil ibrah yang tersirat dari pelaksanaan ibadah qurban. Dalam kehidupan sehari-hari, kita masih saja tidak pernah merasa puas terhadap apa yang sudah dimiliki. Ada yang sudah mendapat “kursi basah” level bawah di suatu perusahaan, lalu dengan menghalalkan segala cara berusaha mengkudeta posisi atasannya. Ibu-ibu dihinggapi penyakit SMS (Senang Melihat si Susah, Susah Melihat si Senang). Tak jarang dari mereka yang “kepanasan” ketika tetangga sebelah membeli mobil mewah keluaran terbaru. Lalu, tanpa alasan yang jelas, mulailah menyebarkan gosip yang tak berdasarkan fakta di arisan-arisan atau perkumpulan ibu-ibu lainnya. Penyakit lain yang masih berdedar di kalangan kita adalah keengganan untuk bersedekah. Sepuluh ribu rupiah masih saja terasa berat untuk dimasukkan ke dalam kotak amal di mesjid-mesjid. Selain itu, kita masih saja mengedepankan ego demi tercapainya tujuan pribadi. Setiap individu –dengan menghalalkan segala cara-- hanya memikirkan keuntungan personal, tanpa peduli efek yang ditimbulkannya terhadap orang lain. Pejabat yang dipercayakan rakyat malah korup. Perampokan dan penculikan terjadi di mana-mana. Kalangan bawah pun tidak ketinggalan. Melihat kalangan atas semakin ‘di atas angin’, sebagian dari mereka ada yang mencari cara agar mendapat jatah bantuan lebih banyak daripada yang lain. Intinya, negara kita dilanda krisis moral. Ini merupakan awal dari krisis-krisis lainnya. Krisis moral menyebabkan krisis kepercayaan. Ketika pemimpin terpilih tidak mampu memenuhi keinginan rakyat, maka muncullah demo-demo yang berujung anarkis. Krisis kepercayaan menyebabkan pemimpin tidak mampu menjalankan roda pemerintahan sebagaimana biasanya. Akibatnya, muncullah masalah di mana-mana. Sektor pendidikan, ekonomi, kerukunan umat beragama, keamanan, dan lain sebagainya menjadi terganggu perkembangannya. Akibatnya, negara menjadi lamban berkembang bahkan terpuruk di dasar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.
Padahal, semua jenis “penyakit sosial” di atas sebenarnya bisa dihilangkan dengan melaksanakan qurban dengan benar. Ketidakpuasan terhadap satu jabatan, korupsi dan keculasan disebabkan karena kita memiliki sifat tamak. Keengganan bersedekah disebabkan karena kebakhilan kita. Kelakuan “sikut kanan, sikut kiri” lebih disebabkan karena kita masih terlalu egois tanpa memperdulikan efek yang ditimbulkan terhadap orang lain.
Melihat hal ini, sudah seharusnya kita memikirkan kembali makna yang tersirat dari anjuran ibadah qurban. Rasulullah saw. bersabda, “Menyenangkan hati orang mukmin lebih baik dari pada ibadah selama enam puluh tahun.” Subhanallah, kadang memang jarang terbersit di hati kita untuk menyenangkan orang lain. Mengingat momen yang ada, apa salahnya jika kita berniat berqurban untuk menyenangkan saudara-saudara kita yang kurang mampu? Dan alangkah lebih baik lagi jika kita menerapkan semangat berqurban ini tidak hanya di hari raya Idul Adha saja. Jika setiap Muslim menerapkan semangat Qurbanis dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya pada 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah saja, maka sudah barang tentu, Islam akan mencapai kejayaannya kembali. Wallahu a’lam bishshawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FORUM STUDI ISLAM (FOSI) 2020

  UKM LDF Al m udarris memiliki enam bidang yang masing-masing bidangnya menjalankan program kerja yang bermacam ragam , termas...