Idul
Adha adalah salah satu momentum besar bagi umat Islam selain hari raya Idul
Fitri. Jika Idul Fitri identik dengan zakat, maka Idul Adha lebih dikenal
dengan prosesi udhiyah atau pemotongan hewan qurban. Sayangnya, kita tidak mengambil ibrah
yang tersirat dari pelaksanaan ibadah qurban.
Esensi
Qurban
Secara vertikal,
berqurban memang telah diperintahkan oleh Allah swt. melalui kitab suci-Nya,
Alquran. Dalam surat Al-Kautsar, ayat 1-2, Allah menegaskan, “Sesungguhnya Kami telah memberimu
Al-Kautsar (nikmat yang sangat banyak). Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu
dan berqurbanlah”. Jelas bahwa berqurban merupakan salah satu bentuk syukur
atas nikmat (Al-Kautsar) yang diberikan oleh Allah swt.. Selain itu, di dalam
ayat ini juga tersirat makna bahwa berqurban harus diniatkan karena Tuhan,
bukan karena riya’ atau pamer
kekayaan semata. Qurban juga merupakan sedekah yang bertujuan untuk menyucikan
diri dan harta (lihat surat At-Taubah : 103)
Sedangkan secara
vertikal, qurban merupakan sarana untuk menumbuhkan kepekaan sosial terhadap
sesama, khususnya kaum dhu’afa. Dalam
bahasa Arab, kata qurban berasal dari
qarraba-yuqarribu-qurbanan yang
berarti kedekatan, kecintaan, dan kemesraan. Meskipun sebagian besar ahli
tafsir cenderung menerjemahkannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah, namun penulis melihat adanya makna lain yang tersirat dari kata ini.
Secara vertikal, memang qurban merupakan sarana untuk mendekatkan diri dengan
Sang Khalik. Secara horizontal, qurban memiliki arti sebagai sarana untuk
mendekatkan golongan “mampu” yang berqurban dengan golongan “kurang mampu” yang
menerima qurban. Dengan kata lain, qurban adalah ungkapan cinta, kasih sayang,
dan simpati kaum yang berpunya kepada kaum papa.
Hakikat
Qurban
Ada dua makna yang
dapat kita tangkap dari pelaksanaan ibadah qurban. Pertama, qurban bertujuan
untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Imam Al-Ghazali mengingatkan
bahwa penyembelihan hewan qurban merupakan simbol dari penyembelihan sifat
kebinatangan yang ada pada diri manusia. Sifat kebinatangan yang dimaksud
adalah hawa nafsu: tamak, kikir (bakhil),
dan egoisme (ananiah). Dengan
demikian diharapkan sesudah berqurban, manusia tidak lagi serakah, terlalu
mengejar-ngejar hal-hal duniawi, tetapi harus lebih qanaah, merasa cukup dengan
apa yang dimiliki. Pun, dengan berqurban, kepedulian terhadap lingkungan
seharusnya lebih peka dengan mengesampingkan egoisme.
Kedua, qurban adalah
salah satu bentuk menyenangkan hati orang lain dengan hati yang ikhlas. Jadi, hakikat qurban tidak
terletak pada kuantitas daging yang diterima oleh kaum dhu’afa, tetapi lebih pada kualitas keikhlasan yang berqurban. Karena
hanya kualitas keikhlasan yang tinggilah yang dapat membuat manusia memperoleh
derajat muttaqin. Seperti yang
diterangkan Allah swt. dalam surat Al-Hajj ayat 37, “Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya.”
Aplikasi
dalam Kehidupan
Sayangnya, sebagian
besar dari kita, kaum Muslimin, tidak mengambil ibrah yang tersirat dari
pelaksanaan ibadah qurban. Dalam kehidupan sehari-hari, kita masih saja tidak
pernah merasa puas terhadap apa yang sudah dimiliki. Ada yang sudah mendapat
“kursi basah” level bawah di suatu perusahaan, lalu dengan menghalalkan segala
cara berusaha mengkudeta posisi atasannya. Ibu-ibu dihinggapi penyakit SMS
(Senang Melihat si Susah, Susah Melihat si Senang). Tak jarang dari mereka yang
“kepanasan” ketika tetangga sebelah membeli mobil mewah keluaran terbaru. Lalu,
tanpa alasan yang jelas, mulailah menyebarkan gosip yang tak berdasarkan fakta
di arisan-arisan atau perkumpulan ibu-ibu lainnya. Penyakit lain yang masih
berdedar di kalangan kita adalah keengganan untuk bersedekah. Sepuluh ribu
rupiah masih saja terasa berat untuk dimasukkan ke dalam kotak amal di
mesjid-mesjid. Selain itu, kita masih saja mengedepankan ego demi tercapainya
tujuan pribadi. Setiap individu –dengan menghalalkan segala cara-- hanya
memikirkan keuntungan personal, tanpa peduli efek yang ditimbulkannya terhadap
orang lain. Pejabat yang dipercayakan rakyat malah korup. Perampokan dan
penculikan terjadi di mana-mana. Kalangan bawah pun tidak ketinggalan. Melihat
kalangan atas semakin ‘di atas angin’, sebagian dari mereka ada yang mencari
cara agar mendapat jatah bantuan lebih banyak daripada yang lain. Intinya,
negara kita dilanda krisis moral. Ini merupakan awal dari krisis-krisis
lainnya. Krisis moral menyebabkan krisis kepercayaan. Ketika pemimpin terpilih
tidak mampu memenuhi keinginan rakyat, maka muncullah demo-demo yang berujung
anarkis. Krisis kepercayaan menyebabkan pemimpin tidak mampu menjalankan roda
pemerintahan sebagaimana biasanya. Akibatnya, muncullah masalah di mana-mana.
Sektor pendidikan, ekonomi, kerukunan umat beragama, keamanan, dan lain
sebagainya menjadi terganggu perkembangannya. Akibatnya, negara menjadi lamban
berkembang bahkan terpuruk di dasar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.
Padahal, semua jenis
“penyakit sosial” di atas sebenarnya bisa dihilangkan dengan melaksanakan
qurban dengan benar. Ketidakpuasan terhadap satu jabatan, korupsi dan keculasan
disebabkan karena kita memiliki sifat tamak. Keengganan bersedekah disebabkan
karena kebakhilan kita. Kelakuan “sikut kanan, sikut kiri” lebih disebabkan
karena kita masih terlalu egois tanpa memperdulikan efek yang ditimbulkan
terhadap orang lain.
Melihat hal ini, sudah
seharusnya kita memikirkan kembali makna yang tersirat dari anjuran ibadah
qurban. Rasulullah saw. bersabda, “Menyenangkan
hati orang mukmin lebih baik dari pada ibadah selama enam puluh tahun.” Subhanallah,
kadang memang jarang terbersit di hati kita untuk menyenangkan orang lain. Mengingat momen yang ada, apa salahnya jika kita berniat
berqurban untuk menyenangkan saudara-saudara kita yang kurang mampu? Dan
alangkah lebih baik lagi jika kita menerapkan semangat berqurban ini tidak
hanya di hari raya Idul Adha saja. Jika setiap Muslim menerapkan semangat
Qurbanis dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya pada 10, 11, 12, dan 13
Dzulhijjah saja, maka sudah barang tentu, Islam akan mencapai kejayaannya
kembali. Wallahu a’lam bishshawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar