Terkadang, kita memiliki hasrat
yang menggebu-gebu untuk memiliki sebuah gelar: Sarjana. Lalu, dengan segenap
kemampuan kita mulai berjuang untuk mendapatkannya. Tetapi, apa yang terjadi
setelah kita memperoleh gelar sarjana? Rasa puas pasti hinggap sebentar di hati
kita, tetapi saya yakin sekali lambat laun kita semua akan menyadari bahwa
proses untuk mendapatkan gelar sarjana itu terasa lebih nikmat dibandingkan
ketika kita telah mendapatkan gelar itu sendiri. Maka ketika kita masih
berstatus mahasiswa ini, ada baiknya kita mereset
kembali niat kita dan berikhtiar sesuai dengan jalan yang diizinkan Allah. Jika
kita kuliah hanya sekedar untuk mendapatkan gelar, bagaimana kalau ternyata
selesai kuliah, akan diwisuda, tiba-tiba meninggal? Toh, kita tidak tahu kapan
nafas kita yang terakhir kali kita hirup, bukan? Nah, apalagi kalau ternyata
kita mendapatkan gelar itu dengan cara-cara yang tidak benar, nyontek misalnya? Na’udzubillah.
Saudaraku, suatu ketika, di sebuah
acara televisi favorit saya, seorang motivator pernah ditanyakan oleh seorang audiens. Pertanyaannya kira-kira begini,
“Bagaimana caranya agar saya bisa menjadi seperti
Bapak yang sekarang ini, berdiri di depan orang banyak, memberikan motivasi
yang mampu menginspirasi banyak orang?”
Sang motivator lalu menuliskan dua
kalimat: PROSES dan JADI. Lalu, ia melingkari kata PROSES, sejenak kemudian ia
berkata,
“Tiru PROSESnya, bukan JADInya. Anda ingin seperti
saya berarti Anda siap melakukan berbagai usaha jatuh bangun yang telah saya
alami sejak dulu,” jawabnya sembari tersenyum.
Ya, tepat sekali. PROSES. Satu hal yang harus kita
yakini adalah konsep sebab akibat yang adil ini, bahwa HASIL yang baik itu
selalu diperoleh setelah melalui PROSES yang baik pula. Begitu pula sebaliknya,
jika PROSESnya merupakan “jalan pintas” atau jalan “menghalalkan segala cara”,
maka HASILnya juga akan sepintas didapat lalu berlalu begitu saja. Maka, PROSES
inilah sebenarnya yang harus kita jalani dengan hati-hati lalu kita nikmati
dengan sepenuh hati. Jalani dengan hati-hati berarti kita harus melakukan
proses yang “sesuai prosedur”. Tidak ada proses contek-menyontek di ujian
perkuliahan, sikut-menyikut dalam perebutan jabatan, suap-menyuap dalam urusan
pemenangan proyek, dan lain sebagainya. Semuanya kita lakukan dengan penuh
kehati-hatian. Maka kemudian, nikmatilah ia dengan sepenuh hati ketika kita
sudah berusaha untuk menjalaninya dengan benar.
Saudaraku, tentu saja menikmati
proses itu tidak semudah melewati jalan tol yang sedang kosong melompong.
Proses tentu saja merupakan sebuah jalan panjang dan terjal yang mengharuskan
kita jatuh-bangun. Seringkali, ketika kita terjatuh di pertengahan jalan,
banyak tawaran-tawaran menggiurkan agar kita melupakan nilai-nilai mulia yang
masih kita pegang erat. Tapi, memang inilah yang harus kita camkan baik-baik,
bahwa yang termahal itu adalah nilai-nilai yang kita jaga dalam proses. Kalau
kuliah hanya untuk memudahkan kita untuk mencari uang, tok uang, pertanyaannya
adalah: bukankah pencopet, perampok, dan penjambret juga memikirkan uang? Kalau
hanya untuk mencari isi perut, kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya
pada isi perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari
perutnya".
Jadi, marilah kita mereset kembali
niat kuliah kita. Pasang niat yang tulus dalam hati bahwa kuliah hanyalah salah
satu cara untuk menambah nilai kemanfaatan hidup kita. Kuliah hanyalah salah
satu cara untuk mendapatkan ilmu, lalu menyebarkannya kepada yang lain. Begitu
juga dengan mencari nafkah, niat kita hanyalah agar bisa mensejahterakan orang
lain. Bukankah sebaik-baik manusia itu adalah yang paling banyak manfaatnya
kepada orang lain?
Maka, saudaraku, janganlah
terpukau dengan hasil. Bisa saja Anda memperoleh uang 1 miliar dengan cara yang
tidak halal dalam waktu yang singkat, tapi tiba-tiba Anda kecopetan atau
tiba-tiba jatuh sakit yang menghabiskan biaya pengobatan dengan jumlah yang
sama. Atau, Anda mendapat rumah hasil “penggelapan dana” tertentu, namun
tiba-tiba ada topan tornado yang menghantam rumah Anda. Atau juga, Anda selalu
mendapat IPK 4,00 di tiap semester hasil nyontek,
tapi begitu tamat Anda menjadi pengangguran abadi. Siapa tahu, Kawan? Maka,
berhati-hatilah menjagi nilai-nilai selama menjalani proses. IPK itu tidak akan
dibawa mati, tapi Insya Allah cara kita mendapatkan IPK itu kelak akan ditanyai
di Pengadilan Akhirat.
Terakhir, yakinlah bahwa rezeki
itu bukan apa yang telah kita dapatkan tapi apa yang denga ikhlas telah kita
lakukan. Semoga bermanfaat. Wallahu
a’lam.
Daftar Pustaka
Manajemen Qalbu KH. Abdullah Gymnastiar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar